Thariq.sch.id- Saat Malik ibn Anas, dengan jubah birunya yang indah dan ‘imamah putihnya duduk membacakan hadits-hadits Rasulillah ﷺ. Para murid duduk menunduk, mencatat dengan khidmat penjelasan Sang Guru dengan cermat. Di tengah majelis, seorang pemuda tampan bercambang tipis tampak mencolok pesonanya. Dia asyik memainkan telunjuk kanannya yang seakan menari di telapak tangan kiri. Melirik sekilas, Imam Malik agaknya terganggu dengan gerak-gerik itu. Maka ketika majelis bubar, beliau memanggil sang pelajar.
“Maju ke sini hai Anak Muda!”
Terkejut, pemuda itu menengok ke kanan-kiri memastikan bahwa dirinyalah yang dimaksud.
“Sayakah ya Imam?”
“Na’am, Ant..”
Bertanyalah Sang Imam tentang jatidiri pemuda itu. Beliau mendapati betapa keluhuran nasab, kerupawanan jasad, dan kecerdasan berhimpun dalam dirinya.
“Betapa sempurna sifat-sifat pribadimu, tapi sungguh sayang buruk sekali adabmu!”
“Astaghfirullaahal ‘alazhiim. Hal manakah kiranya dari perilakuku, yang telah membuat Imam tak berkenan dan mengingkarinya?” Pucat wajah si pemuda.
“Ketika aku sedang meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah ﷺ yang mulia, bukannya menyimak dengan hormat, engkau malah bermain-main dengan jemari dan telapak tanganmu!”
“Jika itu maksud Imam, masya Allah, sesungguhnya aku maksudkan itu untuk menulis hadits yang kau riwayatkan…”
“Coba perlihatkan tanganmu!”
Pemuda itu mengulurkan telapaknya dengan ragu sementara Sang Imam menyambut tangannya dengan cepat.
“Aku tak melihat tulisan apapun!”
”Yang kumaksud wahai Imam…” ujar pemuda itu terbata dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Ini adalah caraku agar dapat lebih mudah menghafalnya ke dalam benakku.”
“Sungguh aku belum pernah mendapati seorang Ahli Ilmu pun yang melakukan perbuatan seperti itu!”
“Na’am ya Imam. Tapi sejak kecil aku hidup dalam kemiskinan hingga tak mampu membeli kertas dan pena, lalu cara inilah yang membantuku mengingat pelajaran.”
“Baik, coba perlihatkan padaku hafalanmu itu!”
“Na’am ya Imam. Kumohon pada Allah pertolongan agar benar dalam menyampaikan. Yang pertama dari keseluruhan hadits Rasulullah ﷺ yang telah kausampaikan, engkau berkata ‘Balaghanii ‘an Nafi’.. ‘An Ibni ‘Umar.. ‘An Shahibi Hadzal Qabri ﷺ… (dan seterusnya)”
Demikianlah sang pemuda menguntai satu demi satu berpuluh-puluh hadits yang dihafalnya dalam majelis itu dengan hafalan tanpa cacat, kefasihan tata bahasa yang sempurna, dan suara yang merdu bagi pendengarnya.
“Engkau bahkan tak keliru dalam satu huruf pun!” Kini Sang Imam yang berkaca-kaca.
“Kamu katakan tadi namamu Muhammad ibn Idris Asy Syafi’i bukan?”
“Na’am ya Imam…”
“Jadi apa tujuanmu meninggalkan Makkah dan datang ke mari?”
“Mengunjungi kekasih kita Rasulullah ﷺ…” sebutir airmata menetes di pipinya ketika dia menengok ke seberang Raudhah Asy Syarifah— tempat Sang Nabi ﷺ berbaring.
“Dan duduk di hadapanmu untuk menadah ilmu,” lanjutnya sambil menghadapkan wajah pada Imam Malik dengan senyum ta’zhim— Pemuda itu, kelak lebih dikenal dengan panggilan Imam Syafi’i.
Baca : Menuntut Ilmu (Part 2) : Berkah Hidupmu dari Berkah Ilmumu
Keteladanan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu, sudah selayaknya menjadi contoh bagi para penuntut ilmu. Pengorbanan menempuh perjalanan jauh mencari guru ke pelbagai pelosok bumi, kesulitan hidup dan sakitnya yang berat di akhir hayatnya, sama sekali tidak menyurutkan semangatnya untuk belajar dan berbagi.
Ditulis oleh : Sri Maharani Candra Christina, S.Pd (Guru SMPIT TBZ Fullday)




