Thariq.sch.id- Kita tidak pernah bisa memilih untuk dilahirkan dalam kondisi apa dan situasi bagaimana. Sebagai manusia, kita hanya bisa menerima apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt dan berikhtiar menjalaninya dengan penuh rasa syukur serta kesabaran hingga yaumil akhir. Salah satu takdir yang sering kita temui di tengah masyarakat adalah adanya anak-anak yang harus menjalani hidup dalam kondisi yatim. Dalam pandangan Islam, anak yatim bukanlah sekadar status sosial, melainkan sebuah amanah yang memiliki kedudukan istimewa dan mulia.
Siapa Anak Yatim dalam Syariat Islam?
Secara syariat, istilah “yatim” merujuk pada seorang anak yang ditinggal wafat oleh ayahnya sebelum ia mencapai usia baligh (dewasa).
Status ini memiliki bobot khusus karena dalam struktur keluarga, ayah adalah pencari nafkah utama dan pelindung. Kehilangannya menjadikan seorang anak rentan, baik secara ekonomi maupun emosional.
Penting untuk diingat bahwa Rasulullah Saw, teladan utama kita, juga seorang yatim. Beliau ditinggal wafat ayahnya sejak dalam kandungan, kemudian dipelihara oleh ibunya, kakeknya, dan pamannya. Pengalaman hidup Rasulullah Saw ini memberikan penekanan yang kuat betapa Islam sangat menjunjung tinggi perlindungan dan kasih sayang terhadap anak yatim.
Peringatan Keras dalam Melindungi Anak Yatim
Karena kerentanan mereka, Al-Qur’an memberikan peringatan yang sangat tegas terkait perlakuan terhadap anak yatim. Allah Swt melarang hamba-Nya untuk bertindak sewenang-wenang, menghardik, atau merendahkan mereka.
Lebih jauh lagi, Al-Qur’an secara spesifik melarang keras hamba-Nya untuk mengambil atau memakan harta anak yatim secara zalim. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam dalam menjaga hak-hak dan martabat mereka.
Firman Allah Swt :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْماً إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَاراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS An-Nisa’ [5]: 10).
7 Keutamaan Agung Menyantuni Anak Yatim
Di balik peringatan keras tersebut, Allah Swt menjanjikan ganjaran dan keutamaan yang luar biasa bagi siapa saja yang ikhlas memuliakan dan menyantuni anak yatim. Menyantuni mereka bukan hanya ibadah sosial, tetapi juga investasi spiritual yang berharga.
Berikut adalah beberapa keutamaan menyantuni anak yatim:
- Berdekatan dengan Rasulullah Saw di Surga Seorang Muslim yang menanggung dan memelihara anak yatim dengan baik dijanjikan akan memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Rasulullah Saw di surga kelak.
- Melunakkan Hati yang Keras Berinteraksi, mengasihi, dan membantu anak yatim terbukti dapat melembutkan hati yang mungkin telah kaku atau keras akibat urusan duniawi.
- Terpenuhinya Kebutuhan Hidup Membantu melapangkan urusan dan memenuhi kebutuhan seorang anak yatim dapat menjadi wasilah (perantara) bagi Allah Swt untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan hidup kita.
- Memperoleh Perlindungan dari Adzab Allah Kasih sayang dan perlindungan yang kita berikan kepada anak yatim dapat menjadi salah satu sebab yang melindungi kita dari adzab Allah Swt.
- Mengundang Keberkahan bagi Rumah Rumah yang di dalamnya dimuliakan dan disantuni anak yatim akan senantiasa dinaungi keberkahan oleh Allah Swt.
- Menumbuhkan Sifat Pemurah Membiasakan diri untuk berbagi dan peduli terhadap anak yatim adalah latihan praktis terbaik untuk menumbuhkan serta mengasah sifat dermawan dan pemurah dalam diri.
- Upaya Menyempurnakan Iman Kepedulian terhadap sesama, terutama kepada mereka yang berada dalam posisi lemah seperti anak yatim, adalah bagian penting dari upaya seorang hamba untuk menyempurnakan keimanannya.
Baca juga : Memaknai Pergantian Waktu
Memuliakan anak yatim adalah panggilan kemanusiaan sekaligus perintah agama yang agung. Ini adalah wujud nyata dari keimanan dan rasa syukur kita atas segala karunia yang telah diterima. Dengan mengulurkan tangan untuk melindungi, menyayangi, dan mencukupi kebutuhan mereka, kita tidak hanya sedang membantu seorang anak yang kehilangan figur ayah. Lebih dari itu, kita sedang meniti jalan untuk melembutkan hati kita yang mungkin keras, mengundang keberkahan tanpa batas ke dalam rumah, dan yang paling utama, meraih kedudukan mulia yang berdekatan dengan Rasulullah Saw kelak di surga.
Sumber : artikel ust M. Ma’mun Salman, M.Pd.I




